Tiga
Bumi
terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul
menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan.
Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di STM. Namun masalah utamanya belum
juga selesai. la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat tawaran dari
Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju. Tapi entah kenapa ia tidak sreg.
Hatinya belum cocok. Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di
sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apapun tak jadi
masalah. la tidak sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran sama
sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Shalat juga
dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi
apa anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Al-Quran. Dalam
bahasa dia, buta Al-Quran. Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari nol.
Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya tanpa berpikir panjang ia
lebih memilih menunggu yang lain. Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa
oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel sepeda motor. Duda beranak
tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak
mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali
dalam waktu tiga tahun. Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga perempuan
berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa
lelaki itu telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri yang
terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan
batinya.
Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu. Datangnya lamaran silih berganti
yang semuanya ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah. "Kamu
itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan
jodohnya!" Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya itu
ada landasan logika dan syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya,
dan minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan orangtua.
Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga
menangis. Sang ayah berkata sambil terisak,
"Saat
pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba
datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan.
Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"
"Baiklah
ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya
akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab Zahrana
sambil mengusap airmatanya.
Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan
Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di
Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan. Lina
tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali
tidak pernah nyantri. Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan.
Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama
Pesantren Al Fatah.
Bu
Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di
tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu kebetulan
Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui.
'Apa
yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
"Nama
saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk
silaturrahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi. Kebetulan saya ikut
mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan
kepala menunduk.
"O
begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"
"Iya,
Ummi."
"Dulu
nyantri di mana?" Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong,
"Zahrana
ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia hariannya seperti santri. Zahrana ini
dari SMA. Terus kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."
"Kalau
begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB. Jurusan apa?"
"Teknik
Sipil, Ummi."
Bu
Nyai hanya manggut-manggut. Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud
sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus
mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu Nyai menjawab,
"Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja
kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang
lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya
punya
ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak
semua lelaki lho. Sekali lagi tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus
tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya
tidak setinggi kamu bagaimana?"
Zahrana
mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia menjawab,
"Saat
ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi
pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik
imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja."
"Oo,
baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya. Nanti malam aku akan rembugan
dengan Pak Kiai. Semoga ada pandangan."
"Baik
Bu Nyai."
Keduanya
lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas.
"Harus
dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya mubazir. Dan orang yang suka mubazir
itu teman akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.
Rana
dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa
gembira. Bu Nyai Dah, atau Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat
halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan begitu menyenangkan. Wajar jika
banyak santri yang mencintainya. Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik
dia.
*
* *
Zahrana
baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya
dalam hati, "Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia bergegas
ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya.
"Bu
Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah. Beliau minta kau menghadap
beliau sekarang juga."
Begitu
kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau. Zahrana langsung
tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya. Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah.
Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al- Quran. Begitu Zahrana
sampai beliau menghentikan bacaannya.
"Duduklah,
Anakku." Ia duduk dengan kepala menunduk.
"Begini,
Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan
pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya
tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu
dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya
bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara.
Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya
meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang
bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah
shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita
carikan jalan terbaik."
"Baiklah,
Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu
Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya.
Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana
berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu
Nyai:
"...Ia
dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya
sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu
tahun yang lalu karena demam berdarah...!" Sambil berjalan ia menirukan
ucapan Bu Nyai, "Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda
tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"
"Hmm
penjual kerupuk keliling. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual
kerupuk keliling?" gumamnya sendiri. Ada dialog yang cukup serius dalam
dirinya.
"Tapi
meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan
ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai
bahwa status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak
jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik
imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus
mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"
Sampai
di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada
para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan
yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu
Nyai, tidak ada yang berani membantah.
Sampai
di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk
maju.
"Kemuliaan
hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang
jika
dimuliakan
oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." Demikian kata ibunya.
Ia
mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh
Lina menjawab,
"Dia
kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja
dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak
terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di Pesantren bertahun-tahun
dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program
Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti
berusaha mengarahkan yang terbaik."
Mantap
sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun
Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia
menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya. Bu Nyai menjawab,
"Baiklah
coba jelaskan alamat rumahmu!"
"Saya
tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15."
"Besok
satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu
berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan
kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah
ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih
jugamantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apaapa."
"Baik
Bu Nyai." Jawabnya.
Dari
situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa
Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan ia yang
nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan
minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu yang
menjawabnya, desahnya.
*
* *
Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke manamana
sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu
di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk
itutidak juga datang. Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang.
"Puk
Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana
sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar
ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,
"Kerupuk
Pak!" Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang
dipikulnya ia turunkan. Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan
umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. la
hampir menangis.
"Iya
Bu, beli berapa?"
"Tiga
ribu Pak."
"Baik
Bu."
Penjual
kerupuk itu mengambil kerupuk dan memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan
kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu.
"Ada
yang kecilBu?"
"Aduh
tak ada Pak."
"Aduh
gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu bawa dulu saja kerupuknya.
Kapan-kapan kalau saya lewat ibu bayar."
"E
jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak."
"Baik
Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga keinginan ibu dikabulkan
Allah."
"Amin."
Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya. Begitu
penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la
menceritakan penjual kerupuk yang baru ditemuinya.
"Apakah
dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang pantasnya untuk penjual
kerupuk yang tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.
"Tenanglah
Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu siapa namanya?"
"Tidak
terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock
duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."
"Ya
sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu
Nyai tega
menjerumuskanmu.
Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti
baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau
dapat suami saleh harus sabar ya." Lina berusaha menenangkan dan
menguatkan.
"Terima
kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar." Zahrana kembali menunggu. Nyaris
satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga
berharap. Belum pernah ia sepegal itu. La yang dulu pernah mendapatkan predikat
mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling.
Begitu pentingnya penjual kerupuk itu.
Tapi
inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar. Sampai senja tiba, tukang
kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim
Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita
di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun,
berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian
tidak berharganya dirinya.
Ia
masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan
galau. Tak ada penjual kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung. Ia
lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk lain yang datang. Penjual
kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya bercucuran,
"Ya
Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah
jalanku menyempurnakan separo agamaku sesuai syariat-Mu. Mudahkan diriku
menyempurnakan ibadah kepada-Mu." Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak
ada siapasiapa di
rumah.
Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang
Gading. Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring,
"Kerupuk-kerupuk!
Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!" Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya
lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya.
Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik
sepeda dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang.
Zahrana
jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan sepeda motornya yang berdiri di
beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu
terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah
dekat ia berteriak,
"Kerupuk,
Mas!"
Penjual
kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual
kerupuk itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya.
Semarang memang panas, meskipun haritelah senja. Zahrana terperanjat. Masih
muda dan ganteng.
Keringat
yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat
lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.
"Iya
Bu, beli berapa?"
Ia
tersadar.
"E...lima
ribu."
Penjual
kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk.
"Ini
Bu"
Ia
mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu. Penjual kerupuk itu
menerima uang itu dan menghitung uang kembalinya.
"Ini
kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah." Zahrana menerima dengan
tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik berisi kerupuk.
Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.
"E,
Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.
"Ya
Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"
"Tidak
kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke
daerah ini."
"Iya
Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya
beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron
saja,"
"O.
Ini cari langganan baru ya?"
"Bisa
ya, bisa tidak."
"Kok
begitu."
"Biasanya
dagangan saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya
jualan ke sini hanya karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu
aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan
anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja. Besok-besok terserah."
Jantung
Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun.
"Boleh
tahu, siapa nama Mas?"
"Nama
saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari
masjid."
Penjual
kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana
memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.
"Diakah
jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hari. Ia lalu
kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ad a di rumah.
"Dari
mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan
sembrono kamu!" tegur ibunya serius.
"Dari
mengejar penjual kerupuk Bu. Wong Cuma sebentar kok." Jawab Zahrana
tenang.
"Penjual
kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" Tanya ibunya dengan mata berbinar.
"Iya
Bu."
"Bagaimana
orangnya? Ganteng? Kau cocok?"
"Ah
ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita
musyawarahkan!"
"Iya.
Iya. Baik."
Zahrana
lalu masuk kamarnya untuk siap-siap shalat Maghrib. Sebelum ia mengambil air
wudhu hpnya berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,
"Ass wr wb. Bu ini Hasan. Alhmdulillah tadi
sy sdh wisuda. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw terbaik. Ini jg berkat
doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."
Ia
tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang
murid yang berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda di
UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan
itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan. Ia teringat Nina.
Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia
tersenyum simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka menikah itu pas. Hasan
ganteng, Nina cantik. Samasama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.
*
* *
Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai,memang
penjual kerupuk yang masih muda itulah yang dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29
tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang
tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok. Ayah dan ibu Zahrana pun cocok. Barulah
setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan dua keluarga. Mulanya si Rahmad
merasa minder. Tapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder.
Pada Rahmad Pak Kiai berkata,
"Zahrana
ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan
Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama,
iman dan akhlak. Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati suaminya.
Jadi kamu jangan minder!"
Akhirnya
Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah
dua keluarga itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat
pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga.
"Semakin
cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin barakah!"
Demikian Pak Kiai berkomentar.
Dan
ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad dengan Zahrana dua minggu setelah
pertemuan itu. Dua keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta
pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama
dan saudara diundang. Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan
tersebar. Zahrana mengundang
semua
temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia
juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat SMS. Para
mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka
datang. Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan
malah tidak bisa datang. Nina mengirim balasan:
"Trm ksh Bu atas undangannya. Smg prnikhnnya barakah.
Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang sama saya jg akan melangsungkn akad
nikah di Jkt. Saling mendoakan ya Bu. Nina."
Ia
bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l. Tapi sedikit kecewa karena
Nina tidak menikah dengan Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal
di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah Swt. Sementara Hasan
mengirim balasan,
"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs dating
Bu. Sbb hari itu saya hams mengurus beasiswa S.2 USM (Universiti Sains
Malaysia). Motion doanya."
Kabar
yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas
mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil
dan sukses. Tak ketinggalan ia juga mengundang teman temannya sesama dosen
waktu mengajar di kampus Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin. Hanya
Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot
tua yang tidak
ia
suka itu. Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu
bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah
dan geram.
"Jangan
sebut aku ini Karman jika tidak bisa member pelajaran pahit pada perempuan
tengik itu!" Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.

Post a Comment