Empat
Hari
pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun
pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau
muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo. Sore
itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia
berkata,
"Akhirnya
aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina
rumah tangga layaknya yang lain."
Hatinya
berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad
nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan
pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup
berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak
yang menjadi penyejuk jiwa. Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,
"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli
gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari
pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai
perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak
orang dan bisa dengan semenamena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya
saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan
saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."
Ia
kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia
tidak setenang dulu
menghadapai
SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang
mengirim SMS kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,
"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis
tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"
*
* *
Persiapan
perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna.
Besok acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang.
Anak-anak kecil berlarian main kejarkejaran. Pengeras suara telah dipasang.
Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group kasidah
Nasyida Ria berkumandang,
Duhai senangnya pengantin baru.
Duduk bersanding bersenda gurau.
Zahrana
tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya.
Zahrana ingin membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka
meminta Zahrana istirahat saja. Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur,
agar besok ia benar-benar fresh dan segar. Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di
luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anakanak kecil
tertawa-tertawa bahagia. Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana
tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah
alunan suara Nasyida Ria,
Duhai senangnya pengantin baru.
Duduk bersanding bersenda gurau.
Ia
benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan.
Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit
seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi seperti patung. Linalah
yang membangunkannya.
"Ada
apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba
masuk dalam hatinya. Lina yang ia tanya malah menangis.
"Rahmad
Rana? Rahmad calon suamimu Rana!"
"Ada
apa dengan Rahmad?"
Lina
tidak menjawab malah semakin keras terisakisak. Paman Rahmad yang ternyata ada
di situ menjawab,
"Rahmad
telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"
"Apa!!?"
Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.
"Rahmad
mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad.
"Oh
tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat
hati siapa saja yang mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang
ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang
sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata. Para tetangga itu lalu
bertanya satu-sama-lain,
"Kenapa
ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bias tertabrak kereta api? Di malam
menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa
sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"
Paman
Rahmad menjelaskan,
"Habis
shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu
di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya
itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena
berkaitan dengan bisnis yang sangat penting. Dan Rahmad akan diajak sedikit
mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru.
Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi
sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan
tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah. Sampai jam sepuluh
malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah,
Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan
siapa. Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada
mayat tertabrak kereta api, dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad.
Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran
darah itu memang
Rahmad."
Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan
yang dalam. Zahrana masih pingsan.
***
Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara
belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada
gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.
Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. La masih pingsan berkali-kali.
Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana
yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan dari rumahnya, di mana
ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma baginya. Lina
membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP
agar Zahrana bias beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman.
Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana
menangis.
"Lebih
baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina
dengan terisak-isak.
"Sebut
nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah
kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan.
"Tapi
aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku
mati saja!"
"Tidak,
kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah
untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."
"Tak
tahu aku harus bagaimana Lin."
"Sudahlah
kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak
berzikir hati akan tenang!"
Dengan
setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman
karibnya itu.
"Anakmu
bagaimana Lin, kalau kau di sini?" Tanya Zahrana.
"Tenang
sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di
Ungaran."
Tiba-tiba
airmata Zahrana kembali keluar.
"Bahagianya
punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar
yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya.
Baru mau punya sudah pergi...." Kata Zahrana sambil menangis memandang
langit-langit kamar rumah sakit.
"Sudahlah
Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau
insya Allah akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."
"Entahlah
Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi."
"Tidak
Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya.
Percayalah ini Cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang
diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau
harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh
menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"
"Yah
doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!"
"Aku
tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."
"Aku
beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik
sekali!" Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.
"Aku
juga sangat beruntung punya teman sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran
dan ketegaran justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia." Pintu
diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu
memeriksa kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan dengan penuh
perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya dengan perkataan yang lembut dan
menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.
"Jadi,
ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa
itu?" Zahrana mengangguk.
"Berarti
ibu kenal dengan anak saya ya?"
"Siapa
nama anak Bu Dokter?"
"Namanya
Hasan. Hasan Baktinusa."
"O
kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai
wisudawan terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."
"Ya
nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima
kasih telah banyak membantu anak saya."
"Sama-sama,
Bu." Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu
membuatnya seolah bisa bernafas. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya
dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan Zahrana. Bu
dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga
menikah dalam usia yang sangat terlambat.
"Yang
sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh
itu terkadang
dikejarkejar
tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling
penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan
sedih."
Zahrana
seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam
hati dia berkata,
"Ya
benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan
kembali." Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat sangat
bagus sekali dari Anton Chekov."
"Apa
itu Bu?" tanya Zahrana pelan.
"Anton
Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan
dan kegagalan. Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."
"Nasihat
yang baik sekali Bu."
"Ya.
Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kaubaca juga karya-karya sastra."
"Terima
kasih Bu atas semuanya."
*
* *
Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa
sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang
memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung.
Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit.
Namun
tak tertolong. Nyawanya melayang di perjalanan.
Hari
itu ia meninggal menyusul calon menantunya. Berita kematian Pak Munajat tidak
disampaikan kepada Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah
sakit dengan jiwa yang telah kukuh. Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis,
namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan Zahrana. Berita
pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu
dimuat Koran terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang
mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi
mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih
dalam pencarian. Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan
mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman dosen Fakultas Teknik. Hampir
semuanya datang. Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika
Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali,
"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua
diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah
kaukembalikan ke Solo!"
Zahrana
tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya.
Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah
Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu
dari Solo. Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada
hubunganya dengan SMS terakhir Pak Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak
Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk terror dahsyat yang hendak
melumpuhkannya saat itu. Tibatiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing.
Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.
"Terima
kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan
perkataan Pak Karman.

Post a Comment