Lima
Entah
kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian
calon suaminya. La ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon
calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya. Tapi
ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa. la diskusikan
kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.
"Aku
yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian Mas Rahmad. Aku
yakin!" kata Zahrana berapi-api. Lantas ia menunjukkan data-data yang
menguatkan dugaannya itu. Lina menanggapinya dengan kepala dingin,
"Sudahlah
Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan
menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"
"Data-data
tadi. SMS saat aku mencoba gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa.
Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai
bukti?" seru Zahrana.
"Aku
bukan pakar hukum Rana. Tapi sebaiknya kau fokus pada yang lain saja.
Diikhlaskan saja. Orang yang ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas
itu selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari
tasnya.
"Apalagi
polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba
kaubaca ini baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika.
Zahrana
mengambil koran dari tangan Lina. Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia
menghela nafas panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina menangkapnya.
Lina berusaha menghibur,
"Sudahlah
Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau
jadi hamba-Nya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi
orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat bersyukur, dan jika dapat musibah
bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina.
"Sebaiknya
kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi."
Zahrana
mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada
Allah. Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa,
"Kita
semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada
takdir-Nya. Yang Paling berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."
Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia labuhkan
segala keluhkesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan. Ia pasrahkan
dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa,
"Ya
Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua
urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari semua jenis kejahatan yang
terjadi di atas muka bumi ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan
yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal buruk yang
Engkau ketahui."
*
* *
Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya.
Selesai Tahajjud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua
siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan. Sang ibu lalu cuci
muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan
ibunya yang duduk di meja makan itu.
"Ramadhan
tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak."
"Iya
Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi."
"Apakah
aku masih berkesampatan melihat kau duduk di pelaminan ya Nak."
"Sudahlah
Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa
terjadi."
Selesai
sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara ibunya shalat. Begitu azan Subuh
berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat Subuh berjamaah
mereka juga ingin mendengarkan Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci Ramadhan.
Habis
dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalanjalan menghirup udara pagi keliling
komplek perumahan. Mereka berdua masuk rumah ketika matahari sudah terang
bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar. Jam tujuh
kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh
menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada
sebuah judul berita: KARENABERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG KERJANYA.
"Semarang -
Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini
agaknya layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa
Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya
terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun)
mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena isterinya bernama M (24 tahun)
diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas terkemuka dari
Amerika Serikat itu. Dua
mahasiswa suami isteri
itu, H dan M kini ditahan pihak
berwajib untuk
penyelidikan lebih lanjut...."Zahrana berkata pelan dalam hati,
"Becik
ketitik olo
kethoro!" Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya
dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri. Setelah
itu ia masuk kelas dengan penuh semangat.
Anak-anak
didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca
buku yang. berkenaan
dengan puasa. Puasa dan hubungannya dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis
protes,
"Kok
tugasnya membaca buku tentang puasa Bu. Memang pelajaran kita ini pelajaran
agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?"
Dengan
tersenyum Zahrana menjawab,
"Justru
itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan kesabaran yang tinggi.
Maka ibu ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa.
Ayo kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan
penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke
perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan
kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."
Anak-anak
siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke
perpustakaan yang jarang mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar
itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu ada hal yang baru. Mata
pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat
mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa
kehilangan
fokus utama pelajaran. Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung untuk
membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. La ingin membuat kolak untuk
buka puasa. Juga membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah menyiapkan
es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang. Pulang dari warung ia agak
terkejut, sebab ada mobil sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang
datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang dating ternyata Bu Dokter Zulaikha,
ibundanya Hasan.
"Dari
mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.
"Dari
warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian ya
Bu?"Iya.
"Hasan
apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?"
"Alhamdulillah
Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah
nulis apa."
"Senang
ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?"
tanya Zahrana santai.
"Menyengaja
ke sini em..." Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,
"Nak,
Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius
yang ingin beliau konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin kolak, kau bisa
bincang-bincang dengan beliau." Bu Zul langsung menimpal,
"Maaf
jika kedatangan saya mengganggu."
"O
nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat,
"saya
tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara dengan Zahrana," lanjutnya
lalu pergi ke arah dapur. Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.
"Eh..konsultasi
apa ya Bu?" Zahrana memecah keheningan.
"Eh
ini. Tentang Hasan, anak saya."
"Ada
apa dengan Hasan, Bu?"
"Sebelumnya
maaf ya Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu,
ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu
Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu
bagaimana?
Padahal
dia kan mau kuliah di Malaysia Bu." Zahrana mengerutkan dahi,
"Kalau
menurut saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau
bisa isterinya dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya ditinggal di
Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga
murah."
"Apa
menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya isteri? Dan bisa
bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?"
"Pendapat
saya ini sangat subjektif dari saya Bu. Menurut saya Hasan sudah sangat layak
menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab dan
kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri?"
"Saya
tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas
Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang."
"Mantap
saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal
tidak menikah dini dulu."
"Itulah
kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu
tentang calon yang diajukan Hasan."
"Semoga
saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di
Fakultas Teknik?"
"Tidak
Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk
melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu." Zahrana
kaget bagai disambar Halilintar.
"S...saya
Bu?!"
"Iya.
Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!"
"Maaf,
Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak
sama Hasan Bu, sungguh." Jawab Zahrana dengan nada takut dan kuatir.
la
kuatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Takut kalau
ia dianggap
berhubungan
dengan Hasan.
"Nggak
Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini."
"Kalau
begitu Hasan salah pilih, Bu." Bu Zul malah tersenyum,
"Bu
Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"
"Ibu
harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya hubungan apapun dengan Hasan
kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu!?"
Bu
Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung paham maksud
Zahrana.
"Bu
Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada ibu. Juga percaya
pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya
itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting gadis manapun yang ingin
dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting
Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu
dari teman ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana
tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tapi belum resmi. Jika Bu
Zahrana serius nanti saya akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya
juga beberapa anggota keluarga." Zahrana tidak tahu harus menjawab apa.
Apa yang disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas
maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.
"Ibu
sudah tahu saya tapi Hasan belum tahu saya Bu."
"Dia
lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa yang masih membuat Bu Zahrana
ragu."
"Saya
masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata
dunia?"
"Harus
bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi
Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak Bu, tidak
gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu bukan ide gila. Itu ide baik.
Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"
"Saya
tidak tahu harus bicara apa lagi."
"Berarti
menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam tanda menerima."
"Saya
ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi adik saya."
"Syariat
tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh.
Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri
tidak masalah. Toh suami saya juga lebih muda dua tahun dari saya."
"Saya
belum bisa menerima Bu?"
"Kenapa?
Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada
dalam diri Hasan suatu cacat yang menurut ibu layak ditolak lamarannya?"
Zahrana
diam. la tidak tahu harus bagaimana. la masih belum tahu apa yang terjadi.
Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa yang
harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.
"Diam
berarti menerima. Saya pamit Bu, mana ibunda tadi?"
Zahrana
tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah
berdiri.
"Ibu
benar-benar serius?"
"Iya."
"Hasan
juga benar-benar serius?"
"Iya."
"Kalian
sudah tahu kekuranganku dan maumenerimaku?"
"Iya.
Tak ada manusia yang sempurna."
"Kalau
begitu saya terima, tapi dengan syarat."
"Apa
syaratnya?"
"Akad
nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh
seluruh jamaah masjid. Maharnya seadanya saja."
Kini
gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak menduga Bu Zahrana akan
mensyaratkan begitu.
"Apa
nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja."
"Tidak.
Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa ibu ingin saya mati kaku
gara-gara saya tidak jadi nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini.
Saya hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang membatalkan rencana
itu. Bagi saya lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali."
Bu
Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, namun sangat
berkarakter.
"Baiklah.
Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan
keluarga. Saya pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon."
Dokter
berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana
memandang sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada kebahagiaan menyusup
dalam hatinya. Tapi juga ada kecemasan. La memang lagi bahagia. Namun untuk
membentengi diri
agar
tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya
dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau
sandiwara.
*
* *
Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba.
Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada kenikmatan luar biasa saat buka.
Kenikmatan yang susah diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang-orang yang
berpuasa saja yang bias merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana
sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak
terjadi lagi. Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat telpon dari Bu Zul,
"Bu
Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung
dengar sendiri suara Hasan ya.." Suara di hand phone Zahrana lalu berubah,
"Bu
Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya
saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat
sekarang, dan kami shalat Isya di masjid dekat rumah Ibu."
"Kau
serius Hasan?"
"Iya
Bu."
"Kau
bisa mencintaiku?"
"Iya
Bu."
"Kalau
begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau
bisa nggak?" Zahrana merasa tak perlu malu.
"Saya
coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid." Mata Zahrana berkaca-kaca
mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.
"Te..terima
kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah." Sambungan ditutup.
Zahrana
menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada
Zahrana. Dengan terisak-isak Zahrana menjelaskan apa yang terjadi.
Sang
ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon
kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan
dan mimpi.
Dan
pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi.
Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian
besar adalah tetangga Zahrana. Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu
Zahrana menangis tersedu-sedu. Beberapa ibu-ibu juga menangis.
Malam
itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan hal yang sama. Usai akad nikah
Hasan mengajak Zahrana naik mobilnya menuju hotel termewah di tengah Kota
Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya
sebagai seorang isteri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang
suami. Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata
jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya
Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi,
saling
mencintai dan saling menghormati. Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua
derita
yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya. Ia semakin yakin,
bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan ihsan. Malam itu, benar-benar
malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan Allah
'Azza wa Jalla kepadanya.
Subhaanallaah wal hamdulillaah,
wa laailaahaillallaahu
wallaahu akbar!

Post a Comment