Dua
Firasatnya
benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya.
Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimic serius. Mimik
yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di
kampusnya itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu.
Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta
padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang
terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan
karena keangkuhanmu."
"Bu
tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk
menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas
saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru
menderita. Karena saya benarbenar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau,
setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya
setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah.
Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon
ibu
bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara
dari hati ke hati. "Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi
ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang
terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya
lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu
dengan
satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu
kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau mundur
dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana
ia berpijak."
"Apa
Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget.
"Iya
Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang
sangat paham peta politik di kampus."
"Tidak
Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah
penghabisan!"
"Zahrana,
kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak
Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul
sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat
baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan
saya tarik lagi ke kampus. Kali
ini
percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan
kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang." Zahrana akhirnya
paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang
disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan. Namun ia belum bisa
mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah,
"Baiklah
Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat
berterima kasih."
"Saya
harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya
kerjakan." Kata Bu Merlin.
*
* *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang
padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada
prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada
jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh. Setelah Bu
Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina,
temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang
bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa
sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana.
"Aku
tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan
setelah mendengar saran Bu Merlin."
"Yang
paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?"
Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu,
"Sampai
saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau
begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah
besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus.
Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau
aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat
dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada
kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar."
"Aku
tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah
dan ibu?"
"Kau
kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih
degan seribu alasan yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi
di kampus. Cari pengalaman baru dan lain sebagainya." Akhirnya ia mantap
untuk mengundurkan diri.
"Kau
benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."
"Nanti
kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau
memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua
pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak
Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi
barang-barangnya. Teman-temannya sesame dosen banyak yang kaget.
"Kami
tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak lamaran Pak Karman. Apa karena itu
terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata
kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya.
"Saya
hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba
kerja di sebuah perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan
berkas-berkasnya.
"Apa
ini benar-benar sudah keputusan final?"
"Ya.
Final."
"Kami
tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar.
Tidak banyak pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus
ini jangan segan-segan. Kami para dosen akan men-support-mu."
"Terima
kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah."
"Sama-sama."
Setelah
barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja
Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di
koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam.
"Nina!"
"Ya
Bu Rana."
"Bisa
bantu saya sebentar?"
"Bisa
Bu."
"Kalau
begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang kerja saya. Saya minta bantuannya
sedikit."
"Baik
Bu." Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak
Didik?"
"Ya
Bu Rana."
"Saya
minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya
pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus sayaminta
tolong dicarikan taksi."
"O
bisa Bu."
Lima
menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang.
Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari
kampus itu.
"Kenapa
Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus.
"Tidak
apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."
"Tidak
karena tekanan seseorang kan Bu?" Tanya mahasiswa berbaju biru tua
kotak-kotak.
"Tidak.
Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab
Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan.
"Kalau
ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" Tanya mahasiswa itu lagi.
"O
tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan
membantumu, insya Allah."
"Saya
masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini
lagi?"
"Boleh
San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata
Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta
mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung. Tak lama taksi datang.
Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barangbarangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya.
Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius,
di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi
pelajaran!" Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap
sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya
seketika meluap,
"Kurang
ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba malah
dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan
nekat itu.
Namun
ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya dosen Fakultas Teknik yang
masih gadis itu.
*
* *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan
baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen,
Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang profesional untuk mendongkrak
prestasi. STM Al Fatah
berada
di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren besar yang terkenal di
Mranggen. Ia
mengajukan
lamaran dan hari itu juga ia diterima. Kepala sekolahnya yang masih keturunan
pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika
mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan
kualitas. Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar
adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak
kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan
nuansa
yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan
tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak
penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting. Dianggap
tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu
umum", kelak tidak akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang
terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa
hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.
Dan
Zahrana tertantang untuk meluruskannya. Ia merasa mengajar di lingkungan
pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak
ulama? Atau karena memang di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti
Pak Karman yang dalam pandangannya sangatsangat durjana. Hari-harinya ia lalui
dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benarbenar hilang
tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan
properti. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya. Yang masih sering datang
adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya.
Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan
dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi.
Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya
sendiri.
Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan
kampus dan memilih mengajar di STM Al Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia
menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para
santri." Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju.
Namun
ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar
di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana.
Bertahun-tahun di kampus jodoh yang Zahrana harap tidak juga datang." Wajah
ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu
harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan
jodohmu."
"Iya
Yah. Mohon doanya terus."
"Tanpa
kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang dan malam, Anakku."
"Terima
kasih Ayah."
***
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya
Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia
ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan
ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.
Baru saja menyalakan komputer hp-nya bordering beberapa kali. Ada tiga SMS yang
masuk. Iamembukanya:
"Sedang
apa perawan tua?"
"Ternyata
jadi perawan tua itu indah."
"Jangan-jangan
jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk di kerubung
lalat!"
Zahrana
tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang
merendahkan dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. la
nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan.
Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya ia memilih
diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah senjata
paling ampuh. Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi
sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.
Internetnya
sudah konek. Lima email dari temantemannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan
keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan
pilihannya. Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa
kabar Perawan Tua?"
"Kelapa
itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua!"
Ia
meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang.
Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata
yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan
hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya. Ia buka alamat emailnya
yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya
untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan
Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu:
Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu. la
lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak
Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum
Wr. Wb.
Semoga Ibu
Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya
mohon maaf
jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama
saya ingin
mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab.
Hari ini saya
merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk
memberikan
sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya
sampaikan
lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan
takut terjadi
salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara
bahasa lisan
tidak.
Bu Zahrana,
setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang
Ibu cari
selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri.
Mengajukan
diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu.
Saya
menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang,
untuk menjadi
isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa
menerimanya
nanti.
Saya akan
berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang
saya harapkan
adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu
Zahrana.
Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena
sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan
dia.
Saya yakin
dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa
bersinergi.
Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini
harapan saya.
Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira
cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf.
Tawaran saya
ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali
saya tidak
bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu
saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum
Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik
Hamdani, M.T.
Zahrana
membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa
yang ia rasakan. Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi
gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita. Jika Pak Didik
itu tidak memiliki isteri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan
sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua.
Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik.
Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka
semua
tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap",
atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya.
Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya,
yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak
mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu. la
membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak
Didik itu, ternyata isterinya
tidak
setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,
"Hai
perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu
tega merampas suami orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu orang
saja!"
Ia
tidak tahu akan menjawab apa. Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia
lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali. Ia menganggap email
itu tak pernah ada. Matanya masih berkaca-kaca.
*
* *

Post a Comment