Takbir Cinta Zahrana
(Sebuah
Novelet Pembangun Jiwa)
Matanya
berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih
sirna dari dunia.Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang
seusianya.
Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang
terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master
teknik dari sebuah institute teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini
ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka
di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Satu
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan
sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama
dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para
tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada
dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia
seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. Ada satu hal yang ia
tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan
malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan
tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan
ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya. Ia
terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di
S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya
sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh
Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si
Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya
banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta.
Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika
selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di
ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan
kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu
kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan
pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang
lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari
Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan
sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa
waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia
meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa
pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah
sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak
datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam. Matanya berkaca-kaca.
Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah
sematamata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping
hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia
sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia
temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya. Umurnya
sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada
yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya,
bahkan mahasiswi yang ia bombing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah
tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu
hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang
kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa
nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga
sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan
bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan.
Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang
sudah mulai renta?
Hand
phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang
sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin,
ataulengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan
Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus. "Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata
menetes di pipinya.
"Saya
dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya
Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak.
"Suaramu
kok sepertinya serak. Sudahlah Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman
memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu."
"Iya
Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan."
"Baguslah
kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik.
Tanpa salam. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan.
Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas
tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur
baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak
diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin.
Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya,
jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana. Ia
telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya.
Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini
jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil
risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan
jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang,
ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu
pendapat Lina. Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak
melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak
Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga
kesempatan seperti ini tidak selalu datang. Terakhir Wati bilang, "Siapa
tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya
membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"
Ia
belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di
telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun
jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya
diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tibatiba wajah keriput
kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe
ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana
berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika
ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua.
Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan
mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap
akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan
putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya
terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan. Kamu
mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku? la meneguhkan
jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak
Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. Ia juga tidak lupa
menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia
rapikan. Bungabunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan
rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam
menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun.
Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan
Napoleon Hill,
"Kebijakan
yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak
cakap."
Ia
kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental
seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan
skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya.
Ia
berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi
dengan gamis border hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya
dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu
mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang
tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak
ingin itu terjadi lagi. Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi.
Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia
undang justru dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini.
Rombongan
Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil.
la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan
Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak
kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung
ruang tamu rumah orangtuanya
cukup
luas. Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di
beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi
hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari
calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang
menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan.
Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama
ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu member bocoran adanya
lowongan dosen di kampusnya. Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur
bersih
kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan
peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku
sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan.
Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara
jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak
mengimbangi bicara. Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana.
Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang
ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si
Zahrana ini dengan penuh cinta.Siapa yang memakannya insya Allah awet
muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan
seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak
Karman
berkomentar dengan gaya lucu, "Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang
harus
mencicipi.
Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari." Spontan perkataan itu
disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya
tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya.
Bagaimana
mungkin
ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar.
Lima
belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada
inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung
persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud
menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H.
Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami
dikabulkan." Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata, "Pertama....tama,
ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami
juga bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan.
Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan penghormatan yang le..lebih baik.
Namun masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami sudah sangat
dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan
sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan." Masalah
sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya. la tahu bola sekarang ada di
tangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha
untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argument mahasiswa yang dibelanya
dalam sidang skripsi, "Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw.,
pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gesa itu datangnya dari
setanl' Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun.
Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari
ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati.
Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang." Ada sedikit gurat
kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa
bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain
bisa memahami dan memaklumi. Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana arah perkataan putrinya
itu. Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana langsung ke kamarnya
mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum,
dengan senyum yang susah diartikan.
*
* *
"Kamu
masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tapi ia
berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang sudah
tahu keputusannya.
"Saya
tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas
di hati saya. Itu saja." Jawab Zahrana.
"Lha
Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan
rukun Islam. Kita saja belum." Bantah ibunya. Ia merasa, memang agak susah
memahamkan ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum.
Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai
peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel
haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji
untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung
dia
ajak dialog masalah itu. "Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya
sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus dengannya. Nanti kalau ada yang
cocok pasti saya
menikah
Bu." Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya",
sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istighfar jika
telah melukai ibunya. Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak
boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat
rukunnya.
Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun
ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. Zahrana masuk
kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya
tegas dan
lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H.
Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum
Wr. Wb.
Semoga Bapak
senantiasa sehat dan berada dalam
naungan
hidayah-Nya.
To the point
saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak,
saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa
menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan
yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon
maaf jika tidak berkenan.
Wassalam,
Dewi Zahrana
la
lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Ia akan minta
bantuan seorang mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak Karman besok
pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban
itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan
Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk
kampus. Dan kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala. Apa yang ia
rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia
mendapatkan SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu
bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia
membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma
jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat SMS
dari Bu Merlin:
"Hari
ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan
kamu!" Airmatanya meleleh.
"Maafkan
aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia merasakan dunia ini begitu
sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya
seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bias pasrah kepada-Nya dan memohon
kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.
*
* *

Post a Comment